Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan Pembelajaran Masa Kini

Sebuah asosiasi nirlaba besar di Amerika Serikat yang mewakili guru pendidikan anak usia dini, para pendidik, direktur pusat, pelatih, keluarga anak kecil, pembuat kebijakan, dan advokat bernama National Association for the Education of Young Children (NAEYC) menyusun sebuah pedoman praktik yang tepat sesuai dengan tahap perkembangan anak yang disebut dengan Developmentally Appropriate Practice. Lebih dari satu abad lalu, Ki Hadjar Dewantara telah memiliki pemikiran yang serupa terkait hal yang sama.

“Untuk keperluan Pendidikan, umur anak didik dibagi menjadi 3 masa, masing-masing dari 7 atau 8 tahun (1 windu): a) waktu pertama (1-7 tahun) dinamakan masa kanak-kanak (kinderperiode); b) waktu kedua (7-14 tahun), yakni masa pertumbuhan jiwa pikiran (intillectueele periode); dan c) masa ketiga (14 21 tahun) dinamakan masa terbentuknya budi pekerti (sociale periode).” 

– Ki Hadjar Dewantara dalam Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936.

Tahap tumbuh kembang anak ini dikenal dengan konsep Wiraga-wirama yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara dan diaplikasikan dalam Taman Siswa yang beliau dirikan di Yogyakarta pada 3 Juli 1922.

Pada tahun 1985, seorang tokoh pendidikan dan psikolog Amerika Serikat bernama Howard Gardner mengungkapkan berbagai tipe kecerdasan anak, yang dikenal dengan istilah kecerdasan majemuk atau multiple intelligence. Ki Hadjar Dewantara sebelumnya telah menyatakan bahwa setiap anak unik, lahir dengan kodratnya masing-masing. Dengan kata lain, setiap anak memiliki kelebihan dan kecerdasannya masing-masing. Teori multiple intelligence ini secara tidak langsung mendukung pemikiran Ki Hadjar Dewantara.

Lebih jauh tentang pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut dapat diilustrasikan sebagai planet yang mengorbit pada matahari pada garis edar/orbitnya masing-masing. Anak bertumbuh dan berkembang sebagaimana planet yang berputar sesuai garis edar/orbitnya. Setiap planet berputar melalui garis edarnya masing-masing, tanpa harus berlomba siapa yang cepat lebih dulu, tanpa harus membandingkan siapa yang paling jauh dan besar garis edarnya, bergerak dengan kecepatan berbeda, namun tak pernah berhenti bergerak.

Anak yang pintar adalah anak yang dapat memahami semua materi yang diberikan oleh gurunya. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memenuhi target penyelesaian materi dalam kurikulum. Dua kalimat itu yang menggambarkan apa yang saya pikirkan dan percaya selama menjadi guru beberapa tahun ke belakang. Namun Pendidikan Guru Penggerak mengubah saya terhadap pemikiran itu. Di modul 1.1 saya belajar tentang pemikiran-pemikiran filosofis Ki Hadjar Dewantara yang melampaui masanya. Pemikiran-pemikiran yang masih relevan hingga kini: Patrap Triloka, Budi Pekerti, Kodrat Keadaan, Asas Trikon dan Wiraga-wirama.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, tujuan pendidikan adalah menuntun segala kodrat yang ada pada anak agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Kata ‘menuntun’ cukup berkesan dan mengubah pikiran saya bahwa tugas pendidik hanyalah menuntun.

“Kita kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.”

– Ki Hadjar Dewantara dalam Dasar-Dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936.

Di kelas saya, perubahan terjadi pada beberapa hal. Misalnya saya tidak memaksakan anak harus memiliki nilai besar atau bagus di pelajaran yang saya ampu. Anak tak harus dapat nilai 80 atau 90. Selama anak mengerjakan tugas dan berupaya mengerjakannya itu sudah baik di mata saya. Selama anak bekerja keras dan bertanggung jawab atas tugasnya, itu sudah menjadi sebuah nilai di mata saya.

Menjadi tanggung jawab saya sebagai pendidik untuk menuntun kodrat anak-anak. Saya percaya bahwa setiap anak itu berbeda, setiap anak itu unik sesuai kodratnya. Kita tidak dapat mengubah bahkan memaksa mereka berubah sesuai kehendak atau keinginan kita. Yang dapat kita ubah hanya perilakunya jika telah keluar dari norma yang berlaku. Karena setiap anak itu unik, kita tidak dapat memaksa setiap anak harus sama. Baik dalam perlakuan terhadap mereka juga dalam menerapkan pembelajaran bagi mereka. Ini yang kemudian disebut pembelajaran diferensiasi.

Setelah menyelami pemikiran-pemikiran KHD, walau belum terlalu dalam, sebagai pendidik saya mulai memperbaharui pembelajaran di kelas. Saya perlahan mulai menerapkan pembelajaran diferensiasi di kelas, walau belum sepenuhnya dilakukan. Dimulai dari pembagian kelompok berdasarkan kemampuan anak terhadap satu materi, tidak lagi yang paling mampu memahami dengan baik pelajaran disebar di setiap kelompok.

Untuk menjawab tantangan kodrat zaman, penggunaan teknologi juga saya mulai masukkan dalam pembelajaran dengan penggunaan Canva untuk desain dan presentasi serta penggunaan kecerdasaan buatan (Artificial Intelligence) dalam menyusun metode pembelajaran yang menyenangkan untuk murid. Lebih jauh lagi, sebagai pendidik saya juga berusaha mengamalkan semboyan Ing Ngarso Sung Tulado, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Jika kita berada di depan, dalam arti sebenarnya maupun konotatif, maka kita harus menjadi teladan atau contoh bagi murid dan orang lain. Teladan dalam berbagai hal, baik dalam bersikap, berfikir, hingga berbicara. Ini persis dengan akronim kata ‘guru’ yang berarti harus dapat digugu dan ditiru. Hal ini tentunya membuat saya sebagai pendidik terus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari waktu ke waktu, karena tidak mungkin orang menjadi teladan namun justru menularkan/mencontohkan hal-hal yang tidak baik, bukan?

Tugas 1.1.a.8. Koneksi Antar Materi – Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *